Kamis, 13 Oktober 2011

ILMU MUNASABAH


BAB I PENDAHULUAN

1.1.       Latar belakang
Sebagai kitab suci Islam, Al-Qur'an merupakan wahyu Allah yang ditujukan untuk semua manusia. Dan sebagai sebuah kitab suci, metode memahami Al-Qur'an akan berbeda dengan buku-buku atau kitab-kitab lainnya, baik dalam hal elaborasi, sistematika, isi, metode bacaan maupun tempat-tempat dan pokok ajarannya. Oleh karena itu diperlukan beberapa disiplin ilmu, diantaranya adalah ilmu-ilmu munasabah Al-Qur'an.

Ilmu ini membahas korelasi antara ayat dengan ayat lainnya atau antara surat dengan surat lainnya. Kalau sebab nuzul mempunyai pengaruh besar terhadap pemahaman makna dan tafsir suatu ayat, maka pemahaman terhadap munasabah tidak kalah pentingnya dalam upaya penafsiran ayat secara sempurna. Dan munasabah dalam hal ini tidak selalu memiliki hubungan yang jelas, tetapi juga ada yang samar sehingga membutuhkan kejelian dan pemahaman yang mendalam terhadap pemahaman ayat dengan ayat maupun surat dengan surat. Dengan demikian pendalaman terhadap ilmu ini sangat menarik karena tinjauan tentang hal ini belum terlalu banyak dibahas dalam studi ilmu Al-Qur'an.

Kebutuhan para ulama didasarkan atas belum berkembangnya pembahasan ilmu ini secara sempurna. Kebanyakan pembahasan para ahli ilmu-ilmu Al-Qur'an masih memasukkan munasabah ke dalam bagian sebab nuzul.

BAB II MUNASABAH AL-QUR'AN

2.1.  Pengertian

Secara etimologis, al-munasabah berarti al-musyakalah dan al-muqorobah yang berarti “saling menyerupai” dan “saling mendekati” (menurut As-Suyuthi).
Menurut pengertian terminologis, munasabah dapat diartikan sebagai berikut :
  1. Menurut Az-Zarkasyi
Artinya :
Munasabah adalah sesuatu hal yang dapat dipahami, tatkala dihadapkan kepada akal, pasti akal itu akan menerimanya.
  1. Menurut Manna’ al-Qatthan
Artinya :
Munasabah adalah sisi keterikatan antara beberapa ungkapan di dalam satu ayat, atau antar ayat pada beberapa ayat, atau antar surat (di dalam Al-Qur'an)
  1. Menurut Ibnu al-‘Arabi
Artinya :
Munasabah adalah keterikatan antara ayat-ayat Al-Qur'an sehingga seolah-olah merupakan satu ungkapan yang mempunyai kesatuan makna dan keteraturan redaksi. Munasabah merupakan ilmu yang sangat agung.
  1. Menurut Al-Biqa’i
Munasabah adalah suatu ilmu yang mencoba mengetahui alasan-alasan di balik susunan atau urutan bagian-bagian Al-Qur'an, baik ayat dengan ayat atau surat dengan surat.
Jadi dalam konteks ulum Al-Qur'an, munasabah berarti menjelaskan korelasi makna antar ayat atau antar surat, baik korelasi itu bersifat umum atau bersifat khusus, persepsi, kausalitas, dan sebagainya.

1.      Macam-Macam Munasabah

  1. Munasabah antara surat dengan surat
Surat-surat yang ada dalam Al-Qur'an mempunyai munasabah, sebab surat yang datang kemudian menjelaskan sebagai hal yang disusulkan secara global pada surat sebelumnya (Al-Suyuthi). Sebagai contoh, surat Al-Baqarah memberikan perincian dan penjelasan bagi surat Al-Fatihah. Surat Ali Imran yang merupakan surat berikutnya memberi penjelasan lebih lanjut bagi kandungan surat Al-Baqarah. Selain itu munasabah dapat membentuk tema sentral dari berbagai surat. Misalnya, ikrar ketuhanan, kaidah-kaidah agama dan dasar-dasar agama merupakan tema-tema sentral dari surat Al-Fatihah, Al-Baqarah, dan Ali Imran. Ketiga surat ini saling mendukung tema sentral tersebut.
  1. Munasabah antara nama surat dengan kandungannya
Nama-nama surat dalam Al-Qur'an memiliki kaitan dengan pembahasan yang ada pada isi surat. Setiap surat mempunyai pembicaraan yang menonjol dan itu tercermin pada namanya masing-masing. Sebagai contoh dapat dilihat pada surat Al-Baqarah ayat 62-71, yang menceritakan tentang perintah Allah kepada umat Nabi Musa untuk menyembelih seekor sapi betina. 
  1. Munasabah antar kalimat dalam satu surat
Munasabah seperti ini ada kalanya memakai huruf  ‘athaf dan ada kalanya tidak. Munasabah yang memakai huruf ‘athaf biasanya mengambil bentuk radhat (berlawanan), seperti terlihat dalam ayat :
“Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar darinya” (QS. Al-Hadiid (57) : 4)

dan ayat :
Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rizqi)” (QS. Al-Baqarah (2) : 245).
Kata (masuk) dan kata (keluar) dan (menyempitkan) dengan (melapangkan) dinilai sebagai ‘alaqah (hubungan) perlawana.

Dan yang tidak memakai huruf ‘athaf, sandarannya adalah qarinah ma’nawiyah (indikasi ma’nawi). Aspek ini dapat muncul dalam beberapa bentuk sebagai berikut :
a.       At-Tanzhir (membandingkan dua hal yang sebanding menurut kebiasaan orang yang berakal), misal :
“Sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu pergi dari rumahmu dengan kebenaran”. (QS. Al-Anfal : 5).

Ayat sebelumnya adalah :
“Mereka itulah orang-orang mu’min dengan sebenarnya” (QS. Al-Anfal : 4)

Di sini ada dua keadaan sebanding, sebagaimana mereka sungguh-sungguh benci atas keluarnya Nabi memenuhi perintah Allah, demikian pula mereka sungguh-sungguh tidak menentang Rasul lagi setelah beriman.
b.      Al-Mudhaddah (berlawanan), misalnya :
Sesungguhnya orang-orang kafir sama saja engkau beri ingat mereka atau tidak engkau beri ingat mereka tidak akan beriman”. (QS. Al-Baqarah : 6).

Munasabahnya adalah bahwa ayat ini menerangkan watak orang kafir, sedangkan di ayat sebelumnya Allah menerangkan watak orang mu’min.

c.       Al-Istithrad (peralihan kepada penjelasan lain), misal :
“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian taqwa adalah yang paling baik. Demikian itu merupakan sebagian dari tanda-tanda Allah, mudah-mudahan kamu selalu ingat”. (QS. Al-A’raf : 26).

Ayat ini menjelaskan nikmat alalh, sedang di tengahnya dijumpai sebutan pakaian taqwa yang mengalihkan perhatian untuk menoleh kepada banyaknya unsur taqwa dalam berpakaian.
d.      At-Takhallush (peralihan)
Peralihan di sini adalah peralihan terus-menerus dan tidak kembali lagi pada pembicaraan pertama. Misalnya dalam surat Al-A’raf mulai dari ayat 59 sampai ayat 157. Ayat ini mulai mengisahkan umat-umat dan nabi-nabi terdahulu secara bertahap beralih terus sampai kepada kisah nabi Musa dan berakhir pada orang-orang pengikut Nabi Muhammad Saw.

  1. Munasabah antara ayat dengan ayat dalam satu surat
Munasabah dalam bentukini secara jelas dapat dilihat dalam surat-surat pendek, misal : Al-Ikhlash, masing-masing ayat pada surat itu menguatkan tema pokoknya tentang keesaan Allah.

  1. Munasabah antara penutup ayat dengan isi ayat
Munasabah di sini bisa bertujuan :
a.       Tamkin (peneguhan), misal :
“Dan Allah menghalau orang-orang kafir yang keadaan mereka penuh kejengkelan, mereka tidak memperoleh keuntungan apapun. Dan Allah menghindarkan orang-orang mu’min dari peperangan. Dan Allah adalah Maha Kuat lagi Maha Perkasa”. (QS. Al-Ahzab : 25).

Sekiranya ayat ini berhenti pada “Dan Allah menghindarkan orang-orang mu’min dari peperangan” niscaya maknanya bisa dipahami orang-orang lemah, sejalan dengan pendapat orang-orang kafir yang mengira bahwa mereka mundur dari perang karena angin yang kebetulan bertiup, padahal, bertiupnya angin bukan suatu kebetulan, tetapi atas kehendak Allah. Karena itu ayat ini ditutup dengan mengingatkan kekuatan dan keperkasaan Allah Swt.

b.      Tashdir (pengembalian), misal :

“Dan mereka memikul dosa-dosa mereka di atas punggung mereka. Ingatlah amat buruk apa yang mereka pikul itu”. (QS. Al-An’am : 31).

Ayat ini ditutup dengan .......... untuk membuatnya sejenis dengan kata .... dalam ayat tersebut.

c.       Tausyih (penyelempengan), misalnya :
Satu tanda (kekuasaan Allah) bagi mereka adalah malam. Kami tanggal-kan siang dari malam itu, maka tiba-tiba mereka berada dalam kegelapan”. (QS. Yaasin : 37).

Dalam permulaan ayat ini terkandung penutupnya. Sebab, dengan hilangnya siang akan timbul gelap. Ini berarti bahwa kandungan awal ayat seolah memakai selempang pertanda bagi akhirnya.

d.      Ighal (penjelasan tambahan dan penajaman makna), misalnya :
“Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang mati mendengar dan tidak pula orang-orang tulis mendengar panggilan, apabila mereka berpaling membelakang”. (QS. An-Naml : 80).

Kandungan ayat ini sebenarnya sudah jelas sampai kata ad-du’a (panggilan). Akan tetapi, untuk lebih mempertajam dan mempertandas makna, ayat itu diberi sambungan lagi sebagai penjelasan tambahan.

  1. Munasabah antara awal uraian surat dengan akhir uraian surat
Munasabah di sini dapat dilihat misalnya pada surat Al-Qashash. Dalam permulaan surat menjelaskan perjuangan Nabi Musa, di akhir surat memberikan kabar gembira kepada Nabi Muhammad Saw yang menghadapi tekanan kaumnya, dan akan mengembalikannya ke Makkah. Di awal surat, larangan menolong orang yang berbuat dosa dan di akhir surat larangan menolong orang kafir. Munasabah di sini terletak pada kesamaan situasi yang dihadapi dan sama-sama mendapat jaminan dari Allah Swt. Contoh lain dalam surat Al-Mu’minun :

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang mu’min”


Dan satu ayat sebelum akhir surat yang sama :
“Sesungguhnya orang-orang kafir tiada beruntung”.

  1. Munasabah antara akhir satu surat dengan awal surat berikut
Di antara yang jelas munasabahnya adalah antara awal surat Al-Hadid :

“Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah. Dan Dia Maha Gagah lagi Maha Bijaksana”.

Dan di akhir surat Al-Waqi’ah :

“Maka bertasbihlah dengan nama Tuhanmu yang Maha Mulia”.

Munasabahnya adalah antara perintah bertasbih pada akhir surat Al-Waqi’ah dan keterangan bertasbihnya semua yang ada di langit dan di bumi pada awal surat Al-Hadid.

2.      Langkah-Langkah Untuk Menemukan Munasabah

As-Suyuthi menjelaskan beberapa langkah yang perlu diperhatikan untuk menemukan munasabah.
  1. Memperhatikan tujuan pembahasan suatu surat yang menjadi obyek pencarian.
  2. Memperhatikan uraian ayat-ayat yang sesuai dengan tujuan yang dibahas dalam surat.
  3. Menentukan tingkatan uraian-uraian itu, apakah ada hubungannya atau tidak.
  4. Dalam mengambil kesimpulannya, hendaknya memperhatikan ungkapan-ungkapan bahasanya dengan benar dan tidak berlebihan.
  5. Apabila munasabah tersebut penuh dengan makna yang mendalam sesuai dengan siyaq, sesuai dengan dasar-dasar keilmuan bahasa Arab, maka dapat diterima sebagai munasabah yang baik.

3.      Faedah Mempelajari Munasabah

  1. Menggali mu’jizat Al-Qur'an dari segi bahasanya, kita dapat mengetahui mutu dan tingkat kebalaghahan Al-Qur'an sehingga dapat lebih meyakinkan bahwa Al-Qur'an adalah mu’jizat Allah bagi Nabi Muhammad Saw.
  2. Memperluas wawasan para mufassir untuk memahami makna yang di kandungnya, sehingga akan memperdalam pengetahuan terhadap kitab Al-Qur'an.
  3. Dengan mengetahui munasabah akan sangat membantu dalam menafsirkan Al-Qur'an sehingga mempermudah istinbath hukum maupun penjelasan hukumnya.
  4. Dengan mempelajari munasabah kita dapat mengetahui prinsip-prinsip kalam yang dipakainya.
Menurut Imam Zarkasyi, beliau berkata : Faedahnya menjadikan bagian-bagian kalam sebagiannya berkaitan dengan sebagian lainnya, maka tampak terlihat kekuatan hubungannya, dan jadilah karangan tersebut menjadi sebuah upaya pembangunan jiwa yang utuh. 

BAB III PENUTUP
3.1.       Kesimpulan
Dengan ilmu munasabah itu dapat diketahui mutu dan tingkat kebahagiaan bahasa al-Qur’an dan konteks kalimat-kalimatnya yang satu dengan yang lain. Serta persesuaian ayat atau suratnya yang satu dengan yang lain, sehingga lebih meyakinkan kemukjizatannya, bahwa al-Qur’an itu betul-betul wahyu dari Allah SWT, dan bukan buatan Nabi Muhammad Saw. Karena itu imam Arrazi mengatakan, bahwa kebanyakan keindahan-keindahan al-Qur’an itu terletak pada susunan dan persesuaiannya, sedangkan susunan kalimat yang paling baligh (bersastra) adalah yang sering berhubungan antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya.

3.2.       Saran
Semoga pembaca makalah ini bisa mempelajari dan mengamalkan arti dari munasabah tersebut.

































































































































Tidak ada komentar:

Posting Komentar