Rabu, 12 Oktober 2011

ILMU QIRA'AT AL-QUR'AN


BAB I PENDAHULUAN

I.             Latar belakang
Membahas salah satu cabang dalam ulumul Qur’an yakni ilmu Qira’at al-Qur’an tidak terlepas dengan apa yang disebut dengan Sab’ah Ahruf (Tujuh Huruf). Dalam satu riwayat, Nabi SAW bersabda : “Sesungguhnya al-Qur’an ini telah diturunkan dalam Tujuh Huruf, maka bacalah olehmu mana yang mudah dari padanya”[1]
Para ulama berbeda pendapat tentang makna ‘Tujuh Huruf’ pada hadits di atas. Diantara perbedaan tersebut adalah :[2]
1.            Al-Qur’an mengandung tujuh bahasa Arab yang memiliki satu makna.
2.            Tujuh dialek bahasa kabilah Arab yaitu Qurays, Hudzail, Tamim, Tasqif, Hawazin, Kinanah dan Yaman.
3.            Tujuh aspek kewahyuan seperti perintah, larangan, janji, halal, haram, muhkam, mutasyabih dan amtsal.
4.            Tujuh perubahan perbedaan yaitu ism, i’rab, tashrif, taqdim dan ta’khir, tabdil dan tafkhim.
5.            Tujuh huruf diartikan bilangan yang sempurna seperti 70, 700, 7000 dan seterusnya.
6.            Tujuh Qira’at yang disebut dengan Qira’ah Sab’ah.
7.            Tujuh huruf diartikan tujuh bangsa selain bangsa Arab seperti Yunani, Persia dan lain-lain.[3]
Dari perbedaan pendapat di atas, yang paling kuat adalah pendapat pertama, yaitu al-Qur’an mengandung tujuh bahasa Arab yang memiliki satu makna, seperti aqbil, ta’al, halumma, ‘ajjil, asri’ yang memiliki satu makna yaitu ‘datang kemari’. Contoh lain terdapat pada rasm utsmani dalam surat al-Ma’idah ayat 82 : kata qissiisiina yang berarti para rahib (pendeta), berbeda dengan bacaan ‘Ubay bin Ka’b, yaitu shiddiiqiina (yang membenarkan). Dua perbedaan ini dibenarkan oleh Nabi SAW.[4] Begitu juga pada surat al-Baqarah ayat 9, kata ‎yukhaadi’u tertulis dalam al-Qur’an Jordania, yakhda’uuna.[5]
Qira’at al-Qur’an, khususnya istilah ‘qira’ah sab’ah’ sering dimaknai dan dikorelasikan identik dengan ‘Tujuh Huruf’, tetapi pendapat ini tidak kuat. Meski demikian, istilah ‘Tujuh Huruf’ merupakan salah satu sebab munculnya multiple reading (banyak bacaan) al-Qur’an.[6]

BAB II PEMBAHASAN
2.1.   Arti Penting tetang Qira’at
Secara etimologi, kata qira’ah berarti ‘bacaan’, dari kata qara’a – yaqra’u – qira’atan.[7] Kata qira’ah berbentuk tunggal, dalam studi ilmu al-Qur’an, ia ditempatkan dalam bentuk jamak karena pembahasannya mencakup banyak jenis qira’ah (bacaan).
Secara terminologi, qira’at adalah salah satu aliran dalam pelafalan/pengucapan al-Qur’an oleh salah seorang imam Qurra’ yang berbeda dengan yang lainnya dalam hal ucapan al-Qur’an serta disepakati riwayat dan jalur-jalurnya, baik perbedaan itu dalam pengucapan huruf maupun dalam pengucapan lafadznya.[8] Secara praktis, qira’at disandarkan kepada salah satu imam Qurra’ yang tujuh, sepuluh dan empat belas.[9]
Qira’at sebagai satu sistem bacaan menjadi sangat vital bagi para pembacanya, terlebih lagi al-Qur’an merupakan sumber pokok rujukan dalam segala hal bagi pemeluk agama Islam. Teks wahyu yang diturunkan dalam bentuk lisan, diajarkan oleh Nabi SAW dalam cara yang sama, meski tetap ada usaha dalam bentuk penulisan teks al-Qur’an tersebut. Tetapi, dalam praktek dominan, metode ajar secara lisan tetap menjadi metode utama hingga saat ini. Itulah mengapa dalam sejarahnya, al-Qur’an banyak mengalami ragam cara baca, sesuai dengan dialek Arab yang ada saat itu.
Jika al-Qur’an merupakan inti ajaran Islam, maka ilmu Qira’at menjadi sebuah sunnah yang harus dipegang, sebagaimana Nabi SAW selalu menjaga orisinalitas al-Qur’an dengan cara memanggil para sahabat penghafal al-Qur’an untuk kemudian mengulang dan mengingat kembali bacaannya.[10] Zaid bin Thabit, orang yang begitu penting dalam pengumpulan Al-Qur'an, menyatakan bahwa “al-Qira’ah sunnatun muttaba’ah” (Seni bacaan (qira'at) Al-Qur'an merupakan sunnah yang mesti dipatuhi dengan sungguh-sungguh).[11]
Dalam satu riwayat, Nabi SAW bersabda : “Ambillah (belajarlah) al-Qur’an dari empat orang : Abdullah bin Mas’ud, Salim, Muadz dan Ubay bin Ka’b”[12]
Sepeninggal Nabi SAW, ragam bacaan al-Qur’an mendapat tempat tersendiri di kalangan sahabat sesuai dengan dialek kabilah yang ada.

2.2.       Tujuan Qira’at
Cara baca al-Qur’an yang beragam, disebabkan beberapa hal utama :[13]
1. Perbedaan karena tidak ada kerangka tanda titik.
2. Perbedaan karena tidak adanya tanda diakritikal.
Ketika pemerintahan Islam meluas dimasa khalifah Utsman bin Affan, terjadi beberapa perselisihan di kalangan sahabat tentang car abaca al-Qur’an, yang mana masing-masing pihak menyatakan bacaannya adalah yang paling sahih dan benar. Kondisi ini mengancam keharmonisan umat Islam, hingga khalifah Utsman bin Affan memerintahkan para sahabat untuk menyusun dan membuat mushaf al-Qur’an. Hal ini dikenal dengan Mushaf Utsmani, yang sampai saat ini mushaf ini kita temukan, baca dan amalkan. Perlu kita ingat bahwa saat itu muncul beberapa mushaf yang berasal dari sahabat, seperti Mushaf Ali bin Abi Thalib, Mushaf Ubay bin Ka’b, Mushaf Abdullah bin Mas’ud, Mushaf Ibnu Abbas, Mushaf Zaid bin Tsabit, Mushaf Abu Musa al-‘Asy’ari dan mushaf beberapa sahabat lain yang sangat mungkin tidak kita kenal.
Qira’ah, disebutkan oleh para ahli sejarah, menjadi sebuah disiplin ilmu bermula ketika Imam Abu Ubaid al-Qasim bin Sallam (w. 224 H) menulis sebuah buku Al-Qira’at, yang termuat di dalamnya qira’at dari 25 orang rawi.[14] Di masa inilah mulai timbul kebohongan dan usaha-usaha penggantian kata atau kalimat dalam al-Qur’an, sehingga para ulama qurra’ memulai penyusunan qira’at al-Qur’an menuju kepada disiplin ilmu.
Meski sebelumnya telah ada beberapa ulama qira’ah yang terbagi kedalam beberapa kelompok yaitu :
1.            Kelompok sahabat : Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka’b, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Mas’ud dan Abu Musa al-Asy’ari.
2.            Kelompok Tabi’in :
a.             Madinah    : Ibnu Musayyib, Urwah, Salim, dan Umar bin Abdul Aziz
b.            Mekah       : Ubaid bin Umair, Atho' bin Abi Robah, Thowus, Mujahid,
: Ikrimah
c.             Kufah        : ilqimah, al-aswad, masruq, ubaidah, dll
d.            Bashroh     : abu aliyah, abu roja', qotadah, ibnu siirin
e.             Syam         : al-mughiroh, shohib utsman, dll
3.            Kelompok Ulama Qurra’ yang hidup pada pertengahan abad dua hijriyah, seperti Ibnu Katsir, Abu Ja’fah, Nafi bin Nua’im, dll.
4.            Kelompok yang meriwayatkan qira’ah dari ulama kelompok ketiga, seperti Ibnu Iyasy, Hafsh dan Khalaf.
5.            Kelompok pengkaji dan penyusun ilmu qira’ah, yaitu Abu Ubaid al-Qasim bin Salam, Ahmad bin Jubair al-Kufi, Ismail bin Ishak al-Maliki, Abu Ja’far bin Jarir at-Tabari, Abu Bakar Muhammad bin Ahmad bin Umar al-Dajuni dan Abu Bakar bin Mujahid.

Abu Bakar bin Mujahid, terlahir di Baghdad tahun 245 H, memberikan penjelasan yang cukup rinci tentang ilmu qira’ah, sebagai berikut :
Pertama, macam-macam Qira’at dari segi kuantitas atau jumlahnya. Adapun sebutan qira`at dari segi jumlah qira’at ada bernacam-macam. Ada yang bernama qira`at tujuh, qira`at delapan, qira`at sepuluh, qira`at sebelas, qira`at tiga belas, dan qira`at empat belas. Tetapi dari sekian macam jumlah qira`at yang dibukukan, hanya tiga macam qira’at yang terkenal yaitu:
1.            Qira`at al-Sab’ah: ialah qira`at yang dinisbatkan kepada para imam qurra’ yang tujuh yang masyhur. [15]
No.
Tempat
Imam Qurra’
1
2
3
1
Madinah
Nafi' (169/785)
2
Mekah
Ibn Katsir (120/737)
3
Damaskus
Ibn 'Amir (118/736)
4
Basrah
Abu 'Amru (148/770)
5
Kufah
'Asim (127/744)
6
Kufah
Hamza (156/772)
7
Kufah
Al-Kisa'i (189/804)

2.            Qira`at ‘asyroh: ialah qira`at sab’ah diatas ditambah dengan tiga qira`at lagi.
No.
Tempat
Imam Qurra’
1
2
3
8
Madinah
Abu Ja'far (130/747)
9
Basrah
Ya'qub (205/820)
10
Kufah
Khalaf al-Asyir (229/843)

3.            Qira`at arba’ah asyrah: ialah qira`at ‘asyrah yang lalu ditambah dengan empat qira’ah lagi.
No.
Tempat
Imam Qurra’
1
2
3
11
Basrah
Hasan al Basri (110/728)
12
Mekah
Ibn Muhaisin (123/740)
13
Basrah
Fahya al-Yazidi (202/817)
14
Kufah
al-A’masy (148/765)

Kedua, dari segi kualitas, qira`at berdasarkan kualitas dapat dikelompokkan dalam lima bagian:
1.            Qira`at Mutawatir, yaitu qira`at yang diriwayatkan oleh orang banyak dari orang banyak yang tidak mungkin terjadi kesepakatan di antara mereka untuk berbohong.
2.            Qira`at Masyhur, yakni qira’at yang memilki sanad sahih, tetapi tidak sampai kepada kualitas mutawatir. Qira`at ini sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan tulisan
3.            Qira`at Ahad, yakni yang memiliki sanad sahih, tetapi menyalahi tulisan Mushaf ‘Utsmani dan kaidah bahasa Arab, tidak memilki kemasyhuran, dan tidak dibaca. (Qira’at Aisyah dan Hafsah, Ibn Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Sa’ad bin Abi Waqqash, Ibn Abbas)
4.            Qira’at Syadz (menyimpang), yakni qira’at yang sanadnya tidak sahih.
5.            Qira’at Maudhu’(palsu), yaitu qira’at yang dibuat-buat dan disandarkan kepada seorang tanpadasar. Seperti qira’at yang disusun oleh Abu Al-Fadhl Muhammad bin Ja’far dan mensbtkannya kepada Imam Abu Hanifah.
6.             Qira’at Syabih bi al-mudroj, yaitu qira’at yang mirip dengan mudroj dari macam-macam hadis. Dia adalah qira’at yang didalamnya ditambah kalimat sebagai tafsir dari ayat tersebut.

Tolak ukur yang dijadikan pegangan para ulama’ dalam menetapkan qira’at yang sahih adalah sebagai berikut :[16]
a.             Bersesuaian dengan kaidah bahasa Arab, baik yang fasih atau paling fasih. Sebab, qora`at adalah sunnah yang harus diikuti, diterima apa adanya dan menjadi rujukan dengan berdasarkan pada isnad, bukan pada rasio.
b.            Bersesuai dengan salah satu kaidah penulisan Mushaf ‘Ustmani walaupun hanya kemungkinan (ihtimal) atau mendekati.
c.             Memiliki sanad yang sahih atau jalan periwayatannya benar, sebab qira`at merupakan sunnah yang diikuti yang didasarkan pada penukilan dan kesahihan riwayat.

2.3.       Faedah Keragaman Qira’at Al-Qur’an
Dalam keragaman cara baca al-Qur’an, dapat diambil beberapa manfaat yang berguna sebagai tanda keotentikan al-Qur’an :[17]
1.            Bukti yang jelas tentang keterjagaan Al-Quran dari perubahan dan penyimpangan, meskipun mempunyai banyak qiroat tetapi tetap terpelihara.
2.            Keringanan bagi umat serta kemudahan dalam membacanya, khususnya mempermudah suku-suku yang berbed logat/dialek di Arab.
3.            Membuktikan kemukjizatan Al-Quran, karena dalam qiroat yang berbeda ternyata bisa memunculkan istinbat jenis hukum yang berbeda pula.
Contoh dalam masalah ini adalah lafadhz : " wa arjulakum" dalam Al-Maidah ayat 6, yang juga bisa dibaca dalam qiroah lain dengan "wa arjulikum ". Maka yang pertama menunjukkan hukum mencuci kedua kaki dalam wudhu. Sementara yang kedua menunjukkan hukum mengusap ( al-mash) kedua kaki  dalam khuf atau sejenis sepatu.
4.          Qiroat yang satu bisa ikut menjelaskan / menafsirkan qiroat lain yang masih belum jelas maknanya. 
Contoh masalah ini : dalam surat Jumat ayat 9, lafal " Fas'au ", asli katanya berarti berjalanlah dengan cepat, tetapi ini kemudian diterangkan dengan qiroat lain : " famdhou" yang berarti pergilah , bukan larilah.
2.4.    Tanda-tanda Baca Al-Qur’an
Pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakr ra, Al-Quran ditulis dengan memakai khat kufi. Yaitu sebuah model khat yang sedang masyhur saat itu. Tulisan pertama Al – Quran masih polos tanpa ada tanda harakat ataupun titik.
Ketika Islam mulai tersebar ke segenap penjuru Arab, timbullah beberapa kekeliruan dalam membaca Al – Quran. Hal ini karena beragamnya dialek yang dimiliki oleh masing-masing qabilah. Akhirnya pada masa Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan (40-60 H), Abu Aswad Ad-Duali memprakarsai pemberian tanda-tanda harakat untuk Al-Quran. Akan tetapi tanda – tanda harakat tersebut tidak sama dengan harakat yang kita kenal saat ini. Pada masa itu harakat “Fathah” ditandai dengan titik berwarna merah yang diletakkan di atas hurufnya. “Dhammah” ditulis dengan titik yang ada di depan hurufnya, “Kasrah” ditulis dengan titik yang terletak di bawah dan “Tasydid” dilambangkan dengan titik dua di atas huruf.
Sekitar tahun 65 – 86 H, Khalifah Abdul Malik bin Marwan atas saran Hajjaj bin Yusuf mulai memberi tanda titik pada huruf-huruf Al – Quran. Ia menugaskan Yahya bin Ya’mar dan Nashar bin Ashim yang merupakan murid Dari Abu Aswad Ad_Duali.
Tanda-tanda yang sudah ada pun dirasa masih kurang cukup. Dimana dengan tanda – tanda tersebut seringkali masih diketemukan terjadi kekeliruan dalam membaca al-Quran, terutama panjang – pendeknya bacaan. Maka pada tahun 162 H, Imam Khalil bin Ahmad yang tinggal di Bashrah memberi tanda yang lebih jelas. Ia memperbaharui tanda-tanda yang telah ditulis oleh Abul Aswad Ad_Duali. Dan hasilnya adalah seperti tanda-tanda Al-Quran yang kita ketahui saat ini.
Adapun perubahan khat Al Quran terjadi pada masa Al-Wasil ibnu Muqlah (272 H), seorang menteri pada Dinasti Abbasiyah. Dialah orang yang dikenal pertama kali menulis Al Quran dengan berbagai macam khat, termasuk diantaranya khat Al Quran yang kita pakai sekarang ini.
Sedangkan yang membagi Al Quran menjadi 30 juz adalah Hajjaj bin Yusuf. Ia juga memberikan tanda “Nishf” (separuh) dan “Rubu’_” (seperempat) dalam mushaf Al Quran.

2.5.       Tajwid dan Adab Membaca Al-Qur’an
a.          Pengertian Tajwid & Ilmu Tajwid
Tajwid secara bahasa artinya at-tahsiin wal ijaadah : baik dan membaguskan. Secara Istilah Tajwid berarti : [18]
التجويد هو إعطاء الحروف حقوقها و ترتيبها , و رد الحرف إلى مخرجه و أصله, و تلطيف النطق به على كمال هيئة من غير إسراف ولا تعسف ولا إفراط ولا تكلف.
Tajwid adalah : Memberikan setiap huruf hak-haknya dan susunannya, mengembalikan huruf pada makhrojnya dan asalnya, menghaluskan pelafalan pada kondisi yang sempurna, tanpa berlebihan dan pembebanan.
Sedangkan ilmu tajwid diartikan sebagai : ilmu yang menjelaskan hukum-hukum dan kaidah-kaidah yang harus dijaga pada saat membaca Al-Quran, sesuai dengan apa yang dipraktekkan kaum muslimin, dari generasi ke generasi , dari Rasulullah SAW.
    
b.            Keutamaan Tajwid
Allah SWT berfirman :
"الله نزل أحسن الحديث كتاباً متشابهاً مثاني تقشعر منه جُلودُ الذين يخشون ربهم، ثم تلين جُلودهم وقُلوبهم إلى ذكر الله" (الزمر ـ 23).

Artinya : Allah Telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, Kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. (QS Az-Zumar 23)
Pada ayat di atas diisyaratkan bahwasanya Al-Quran idealnya dibaca dengan benar, baik agar bisa mempengaruhi hati mereka yang mendengarnya. Sebaliknya, jika al-quran dibaca dengan seenaknya, maka tidak akan berpengaruh apapun bagi hati yang mendengarnya.
Rasulullah SAW bersabda : " seorang yang pandai membaca Al-Quran akan bersama malaikat yang mulia, sedangkan yang membaca Quran dengan terbata-terbata dan kesusahan, maka baginya ada dua pahala " (HR Bukhori & Muslim)

c.             Hukum Mempelajari Ilmu Tajwid
Para ulama Tajwid bersepakat bahwa setiap muslim dituntut untuk mempelajari hukum-hukum tilawah, dan memperhatikannnya ketika sedang membaca al-quran. Sedangkan lalai dalam masalah ini – tanpa udzur syar'I yang bisa diterima- adalah berdosa.

d.            Objek Pembahasan Ilmu Tajwid
Objek pembahasan dalam Ilmu Tajwid, secara garis besar meliputi :
·               Hukum-hukum berkaitan dengan Nun ( Ahkamu an-Nuun)
·               Hukum-hukum berkaitan dengan Hamzah ( ahkaamu alhamzah)
·               Tata Cara Berhenti ( Kaifiyah Al-Waqf )
·               Makhorijul Huruf ( Tempat Keluar Huruf)
·               Sifat-sifat Huruf
·               Ahkamul Mad ( Panjang Pendek Harokah)

2.6.    KESALAHAN-KESALAHAN DALAM PRAKTEK TAJWID
Kesalahan dalam praktek tajwid , secara umum bisa dibagi menjadi dua bagian besar :
2.7.      Kesalahan Al-Lahn ( Kekurangan dalam pelafalan /tanpa tajwid)
Kesalahan al-lahn dibagi menjadi dua bagian ;
·               yang pertama adalah kesalahan Al-Jaliyy (yang Jelas) yaitu kesalahan pelafalan / tajwid yang diketahui oleh banyak orang awam secara umum. Misalnya adalah : salah dalam harokat ( I'rob), atau salah dalam tashrif.
·               Yang kedua adalah kesalahan Al-Khofiyy (tersembunyi), yang tidak diketahui kecuali oleh mereka yang bergelut lama di ilmu tajwid atau pakar di bidang Qiro'at. Seperti dalam masalah makhorijul huruf dan sifat-sifatnya.
2.8.      Berlebihan dalam Tajwid ( Mubalaghoh wa Ifrooth)
Berlebihan dalam pengucapan dan pelafalan Al-Quran juga sama bahayanya dengan meninggalkan tajwid. Berikut contoh-contoh kesalahan yang berhubungan dengan berlebihan dalam pengucapan al-Quran :
·               At-Tar'iid : pembacaan al-quran dengan bergetar secara berlebihan, bagaikan orang yang menggigil kedinginan atau menahan sakit.
·               At-Tarqish : berhenti dan diam pada tempat berhenti, untuk kemudian melanjutkan harokah dengan cepat seperti lari dari musuh atau terkejut.
·               At-Tathriib : pembacaan seperti musik, khususnya memanjangkan secara berlebihan pada huruf mad
·               At-Tahziin : membaca al-Quran dengan nada sedih yang berlebihan dan hampir-hampir menangis berlebihan
·               At-Tardiid : pengulangan ayat terakhir yang dibaca seorang qori' oleh sekumpulan orang yang mendengarkannya.

Dianjurkan bagi orang yang membaca Qur’an memperhatikan halhal berikut :[19]
a)            Berguru secara musyafahah, bertemu langsung dengan guru.
b)            Hendaknya membaca Quran  dalam keadaan berwudlu, karena ia termasuk dzikir yang paling utama, meskipun boleh membacanya bagi orang yang berhadast.
c)            Membacanya hanya di tempat yang bersih dan suci, untuk menjaga keagungan Al-Quran.
d)           Membacanya dengan khusyuk, tenang dan bersahaja.
e)            Bersiwak (membersihkan mulut) sebelum mulai membaca.
Membaca taáwwuz  (audzu billahi minasysyaitanir rajim) pada permulaannya.
f)             Membaca basmalah pada permulaan setiap surah, kecuali surah AlBaraáh.
Membacanya dengan tartil yaitu dengan pelan dan terang serta memberikan setiap huruf haknya (betul makhrajul hurf dan tajwidnya), seperti panjangnya, idgamnya, dsb.
Memikirkan dan mentadabburi  ayatayat yang dibacanya.
g)            Meresapi makna dan maksud ayatayat Quran yang berhubungan dengan janji dan ancaman.
h)            Membaguskan suara karena itu akan lebih berasa di hati. Nabi SAW bersabda : Hiasilah Al-Quran dengan suaramu (HR Ibnu Hibban)
i)              Mengeraskan bacaan jika dianggap lebih baik dan tidak menimbulkan riya.




Mengajarkan Al-Qur’an dan Menerima Honor dari Mengajarkannya
Rasulullah SAW bersabda: "Bacalah Al-Qur'an dan janganlah kamu (mencari) makan dengannya dan janganlah renggang darinya (tidak membacanya) dan janganlah berlebih-lebihan padanya." (HR. Ahmad, Shahih).Imam Al-Bukhari dalam kitab shahih-nya memberi judul satu bab dalam kitab Fadhailul Qur'an, "Bab orang yang riya dengan membaca Al-Qur'an dan makan denganNya", Maksud makan dengan-Nya, seperti yang dijelaskan Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Bari.
Adapun mengambil honor dari mengajarkan Al-Qur'an para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Para ulama seperti 'Atha, Malik dan Syafi'i serta yang lainya memperbolehkannya. Namun ada juga yang membolehkannya kalau tanpa syarat. Az Zuhri, Abu Hanifah dan Imam Ahmad tidak mem-perbolehkan hal tersebut.Wallahu A'lam.
Ada sebuah riwayat yang dapat kita jadikan dasar pemikiran dalam hal menerima honor (upah) dari mengajarkan al-Qur’an : Hadits riwayat Imam Bukhari, Jilid 3, Nomor 476: Diriwayatkan dari Abu Sa’id r.a.:
Beberapa Sahabat Nabi dalam suatu perjalanan, sampailah di sebuah kampung (di malam hari). Mereka meminta penduduk kampung tersebut untuk memperlakukan mereka sebagai tamu, namun penduduk kampung tersebut menolak untuk menjamu mereka. Sang kepala suku kampung Arab tersebut kemudian digigit ular (atau tersengat kalajengking) dan para penduduk tersebut mencoba sekuat tenaga untuk menyembuhkannya, namun gagal.
Beberapa di antara mereka berkata, “Tak satu pun yang dapat membuatnya sembuh, coba pergilah kalian ke orang-orang itu (para sahabat Nabi) yang bermalam di sana, mungkin ada di antara mereka yang memiliki obat”. Mereka pun pergi ke tempat para Sahabat dan berkata “Pemimpin kami telah digigit ular (atau tersengat kalajengking) dan kami telah mencoba berbagai cara namun ia tak sembuh-sembuh juga. Apakah kalian memiliki sesuatu (untuk menyembuhkannya)?” Salah seorang di antara Sahabat Nabi SAW tersebut menjawab “Ya, Demi Allah! Aku dapat membacakan Ruqya (mantera), tapi karena kalian telah menolak untuk menerima kami sebagai tamu, aku tak akan membacakan Ruqya bagi kalian, kecuali bila kalian memberikan upah atasnya.”
Mereka pun setuju untuk membayar para Sahabat tersebut dengan sejumlah domba. Salah seorang dari para Sahabat Nabi SAW itu kemudian pergi dan membaca Al-Fatihah: ‘Segala puji adalah bagi Tuhan sekalian alam’ dan meludahkannya ke sang kepala suku, yang seketika itu menjadi sehat kembali seakan-akan ia baru terlepas dari kungkungan rantai, dan bangkit serta mulai berjalan, tanpa menunjukkan tanda-tanda sakit.
Mereka pun membayar para Sahabat sejumlah kambing seperti yang telah disetujui. Beberapa di antara para Sahabat, kemudian menyarankan untuk membagi pendapatan mereka tersebut di antara mereka sendiri, tapi Sahabat yang melakukan pembacaan Ruqyah tadi mengatakan, “Jangan membagi-bagi upah ini hingga kita pergi menghadap pada Nabi SAW dan menceritakan keseluruhan peristiwa tadi pada beliau, dan menunggu perintah beliau.”
Maka, mereka pun pergi ke Rasulullah SAW dan menceritakan peristiwa itu. Rasulullah SAW bertanya, “Bagaimana kamu tahu bahwa Al-Fatihah itu dapat dipakai sebagai Ruqya?” Kemudian beliau SAW menambahkan, “Kalian telah melakukan hal yang benar. Bagilah (apa yang telah kalian peroleh) dan berilah pula bagiku bagianku.” Nabi SAW pun tersenyum.

BAB III PENUTUP

Penutup
Karena keterbatasan penulis, tidak semua hal yang berhubungan dengan qira’at al-Qur’an tercakup dalam makalah ini, terutama contoh-contoh ayat al-Qur’an yang menjadi perbedaan bacaan. Semoga kita dapat mengambil hikmah dan pelajaran dari apa yang telah diwariskan para ulama terdahulu, amin.


                                                             DAFTAR PUSTAKA


Akaha, Abduh Zulfikar, Al-Qur’an dan Qira’ah, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 1996.

Anwar, Abu, Drs, M.Ag, Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar, Jakarta : Amzah, 2002.

Al A’zami, M. M., Sejarah Teks Al-Qur’an, Dari Wahyu Sampai Kompilasi, terj. Sohirin Solihin dkk, Jakarta : Gema Insani Press, 2005.

Chirzin, Muhammad, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, Jakarta : Dana Bhakti Prima Yasa, 1998.

Denffer, Ahmad Von, 'Ulum al-Qur'an An Introduction to Sciences of the Qur'an, Liecester: The Islamic Foundation, 1989.

Esack, Farid, The Qur’an : A User’s Guide, Oxford : Oneworld Publication, 2007.

Khon, Abdul Majid, Praktikum Qira’at; Keanehan Bacaan Al-Qur’an Qira’at Ashim dari Hafash, Jakarta : Amzah, 2008.

Al-Munawar, Said Agil Husin, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Jakarta : Ciputat Press, 2003.

An-Nawawi, Abu Zakariya Yahya Muhyiddin bin Syaraf bin Hizam, At-Tibyaan fii Aadaabi Hamalatil Quran, tk..

Ash Shiddieqy, M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an / Tafsir, Jakarta : Bulan Bintang, 1992.

Thabathaba’i, MH., Mengungkap Rahasia Al-Qur’an, terj. A. Malik Madani dan Hamim Ilyas, Bandung : Mizan, 1990.

Shihab, Quraish M. dan tim, Sejarah dan 'Ulum al-Qur'an, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.

Syamsuddin, Hatta, Ringkasan  Praktis Sistematis dari Terjemahan Kitab " Mabahits Fi Ulumil Qur'an" karya Syeikh Manna'ul Qathan, dengan beberapa tambahan, catatan dan penyesuaian, PESANTREN MAHASISWA ARROYAN SURAKARTA, 2008 M / 1430 H.

Watt, W. Montgomery, Bell, Richard, Pengantar al-Qur'an, Terj. Lilian D. Tedjasudhana, Jakarta: INIS, 1998.

Az-Zanjani, Abu Abdullah, Tarikh Al-Qur’an, terj. Kamaluddin Marzuki Anwar, Bandung : Mizan, 1993.



[1] HR. Bukhari, Lafadz yang hampir sama terdapat pada riwayat An-Nasa’i.
[2] Abdul Majid Khon, Praktikum Qira’at; Keanehan Bacaan Al-Qur’an Qira’at Ashim dari Hafash, Jakarta : Amzah, 2008, hlm. 33-34.
[3] M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an / Tafsir, Jakarta : Bulan Bintang, 1992, hlm. 68. Hal ini disebabkan karena terdapat kata-kata dalam al-Qur’an yang berasal dari bahasa lain, seperti istibraq (Yunani), sijjil (Parsi), haunan (Suryayi), shirath (Rum).
[4] Ahmad Von Denffer, 'Ulum al-Qur'an An Introduction to Sciences of the Qur'an, Liecester: The Islamic Foundation, 1989. hlm. 73.
[5] Ibid..
[6] M. M. Al A’zami, Sejarah Teks Al-Qur’an, Dari Wahyu Sampai Kompilasi, terj. Sohirin Solihin dkk, Jakarta : Gema Insani Press, 2005, hlm. 73. Ada perbedaan istilah yang dipakai oleh penulis buku ini dengan apa yang dipakai oleh orientalis, yaitu multiple reading dan variant reading.
[7] Muhammad Chirzin, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, Jakarta : Dana Bhakti Prima Yasa, 1998, hlm. 85.
[8] Ibid.
[9] Abduh Zulfikar Akaha, Al-Qur’an dan Qira’ah, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 1996, hlm. 194.
[10] MH. Thabathaba’i, Mengungkap Rahasia Al-Qur’an, terj. A. Malik Madani dan Hamim Ilyas, Bandung : Mizan, 1990, hlm. 138.
[11] M. M. Al A’zami, Sejarah Teks Al-Qur’an, Dari Wahyu Sampai Kompilasi, terj. Sohirin Solihin dkk, Jakarta : Gema Insani Press, 2005, hlm. 73.
[12] HR. Bukhari.
[13] M. M. Al A’zami, Sejarah Teks Al-Qur’an, Dari Wahyu Sampai Kompilasi, terj. Sohirin Solihin dkk, Jakarta : Gema Insani Press, 2005, hlm. 74.
[14] Muhammad Chirzin, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, Jakarta : Dana Bhakti Prima Yasa, 1998, hlm. 88.
[15] Ahmad Von Denffer, 'Ulum al-Qur'an An Introduction to Sciences of the Qur'an, Liecester: The Islamic Foundation, 1989.  hlm. 83.
[16] Ahmad Von Denffer, 'Ulum al-Qur'an An Introduction to Sciences of the Qur'an, Liecester: The Islamic Foundation, 1989. hlm. 84.
[17] Muhammad Chirzin, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, Jakarta : Dana Bhakti Prima Yasa, 1998, hlm. 92.
[18] Hatta Syamsuddin, Ringkasan  Praktis Sistematis dari Terjemahan Kitab " Mabahits Fi Ulumil Qur'an" karya Syeikh Manna'ul Qathan, dengan beberapa tambahan, catatan dan penyesuaian, PESANTREN MAHASISWA ARROYAN SURAKARTA, 2008 M / 1430 H.
[19] Abdul Majid Khon, Praktikum Qira’at; Keanehan Bacaan Al-Qur’an Qira’at Ashim dari Hafash, Jakarta : Amzah, 2008, hlm. 36-50. Lihat juga Abu Zakariya Yahya Muhyiddin bin Syaraf bin Hizam An-Nawawi, At-Tibyaan fii Aadaabi Hamalatil Quran, tk.. hlm. 50-90.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar